Sabtu, 07 Februari 2009

Tiga Rahasia Pasar Tradisional

Setiap pagi saya naik sepeda menuju pasar tradisional, yang jaraknya lumayan jauh. Sengaja saya pilih pasar ini dengan dua alasan, pertama saya bisa berolahraga, dan kedua pasar ini “seperti” Passer Baroe (kiosnya berada di sepanjang jalan, tidak masuk ke dalam los-los sehingga saya hanya duduk di atas sepeda untuk bertransaksi). Anak saya selalu bertanya saat saya tiba di rumah, “Ibu dari pasar bau, ya?”

Alasan saya sebenarnya ada tiga. Dengan uang yang sama, saya mendapatkan lebih banyak jika berbelanja di pasar tradisional. Bisa saja saya tinggal duduk di rumah menunggu Bang Hasan, tukang sayur gerobak lewat setiap pukul 7.30 pagi. Saya menyukai tawar-menawar di pasar tradisional, walau hanya sekadar limaratus rupiah.

Kebiasaan ini saya lakukan mulai Idul Fitri tempo hari, saat ditinggal pulang “asisten rumah tangga”. Saya mulai menyukai kegiatan rutin ini, karena secara nyata saya tahu bagaimana harga bawang bergerak naik, daging sapi dan ayam bergerak turun lalu naik lagi. “Seribu cabe merah,’Yu” akan berbeda jumlah cabenya jika kita membeli di tempat langganan. Ada rasa “trust” di antara pembeli dan pelanggan yang terbangun baik.

Hari ini saya banyak men-download tulisan jurnal di luar negeri dengan kata kunci “traditional market”. Saya mampir di www.traditionalmarket.co.uk. dengan konsep pasar tradisional yang berbeda dengan pasar tradisional di Indonesia. Tapi tiga rahasia mereka adalah: kualitas, suasana dan profesionalisme. Menarik…

Kualitas: tentu pembeli menginginkan ikan yang masih segar (lihat insang masih berwarna cerah atau tidak) atau tempe yang sempurna (seluruh pori-pori terbalur sebagai hasil fermentasi yang baik).

Suasana: pasar tradisional yang saya datangi di musim hujan begini menjadi kubangan lumpur yang membuat saya yang bersepeda diuntungkan (tidak sering-sering menjejakkan kaki ke tanah becek). Sungguh suasana becek bukan halangan, karena dengan penjual “serba-ada” langganan, saya selalu disapa “Tuku opo, ‘Yang? Tempe’ne apik…” Terkadang gelak tawa terdengar di kios tukang kelapa di sela-sela lamunan nenek penjual ikan asin.

Profesionalisme: pedagang ikan langganan mengerti bahwa saya tak suka membersihkan sisik ikan, jadi otomatis dibersihkan. Penjual tahu juga selalu memberi lebih jika saya membeli lima ribu rupiah. Saya juga tidak akan diberikan sayuran yang layu oleh ‘Yu Pon langganan saya.

Intinya adalah ada kenikmatan berbelanja di pasar tradisional juga. Saya bisa mengetahui harga atau kuantitas di kios ini lebih menguntungkan dibandingkan di kios ujung sebelah sana. Saya juga suka dengan kualitas tahu di dekat tukang ayam langganan, sehingga tak ingin pindah ke tukang tahu lain. Inilah konsep-konsep dasar ekonomi yang saya pelajari di pasar tradisional. Sekarang adalah masalah waktu dan itikad pemerintah daerah untuk meremajakan pasar tradisional tanpa harus mengubah nilai dari tiga rahasia pasar tradisional.

Minggu, 01 Februari 2009

testing

nhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa